PERJUANGAN MASYARAKAT TIONGHOA, PRIBUMI JAWA, DAN KAUM SANTRI LASEM DALAM MELAWAN VOC DALAM BINGKAI SEJARAH PLURALISME DI KOTA LASEM TAHUN 1741 HINGGA 1750
Penulis adalah Diyah Evita Sari (Siswa SMA Negeri 1 Pamotan Kelas XII IPS 3)
Pembimbing adalah Bayu Nugroho (Guru Sejarah SMA Negeri 1 Pamotan)
PENDAHULUAN
Lasem merupakan kota pusaka yang memiliki banyak warisan budaya (Taufan dan Gofar, 2023). Lasem juga merupakan kota awal pendaratan orang-orang Tiongkok (Maghfiroh, 2020). Tampil menjadi Kota Toleransi (Sholihuddin, 2023) Lasem memiliki sejarah panjang dengan banyaknya perjuangan, pengorbanan hingga penderitaan yang dirasakan masyarakat Lasem. Sebagai kota kecil, menurut Atabik (2016) Lasem telah membuktikan tumbuh suburnya sikap toleransi antara masyarakat Jawa sebagai Pribumi dan masyarakat Tionghoa sebagai pendatang. Bahkan saat terjadi perjuangan di Lasem, menurut Aziz (2014) masyarakat Pribumi Jawa, Tionghoa, dan Kaum Santri saling bahu membahu untuk melawan Belanda. Bukan hanya itu saja, Lasem juga menjadi saksi transisi kekuasaan dari Majapahit hingga Mataram Islam (Aziz dan Wildan, 2022). Sejarah panjang dalam perjuangan yang diwarnai banyak perlawanan yang harus dihadapi masyarakat Lasem dengan mengorbankan nyawa. Sehingga kota Lasem cukup pantas diduga memiliki nilai sebagai salah satu tempat yang menjadi poros perjuangan yang bersifat lokal dan nasional.
Latar belakang penulisan sejarah kota Lasem ini adalah untuk mengetahui tentang rentetan peristiwa penting yang terjadi di Lasem sejak tahun 1740 hingga 1751. Banyak peristiwa penting yang terjadi di Lasem yang menyebabkan akulturasi budaya antara masyarakat Tionghoa, pribumi Jawa, kaum santri. Data yang dijadikan acuan dalam penulisan esai ini adalah data sekunder dengan dilengkapi wawancara dengan narasumber dan pengamatan terhadap peninggalan sejarah yang diduga memiliki relasi terhadap peristiwa penting tersebut. Adapun tujuan dari penulisan esai ini untuk mengetahui perjuangan masyarakat Lasem mulai dari Perang Kuning yang melibatkan tiga tokoh Lasem yaitu Oei Ing Kiat sebagai salah satu perwakilan etnis Tionghoa sekaligus adipati Lasem saat itu, Raden Panji Margono salah satu perwakilan pribumi Jawa sekaligus putra dari Tejakusuma V Adipati Lasem sebelumnya, dan Tan Kee Wie perwakilan dari etnis Tionghoa dan seorang guru bela diri di Lasem (Harry, Marta, dan Briandana, 2021).
Perjuangan masyarakat Lasem dalam menghadapi VOC bukan hanya dengan satu kali perlawanan dan mendapatkan kemenangan. Namun, banyak perlawanan yang harus mereka lewati bahkan hingga salah satu tokoh perjuangan dalam perang kuning tersebut gugur dalam medan perang. Perlawanan yang terjadi pada tahun 1740-1743 yang dilakukan dengan penyerangan pertama di Garnisun Belanda yang ada di Rembang berhasil membuat Belanda kalah. Perlawanan selanjutnya dilakukan dengan menyerang Juana dan Jepara. Perjalanan perlawanan di Jepara yang dilakukan Tan Kee Wie membuatnya gugur di Laut Mandalika (Kurniyawan, 2020). Derasnya laut mandalika membuat kapal Tan Kee Wie yang terkena meriam Belanda hanyut seketika. Jenazah Tan Kee Wie yang tidak bisa ditemukan kini terpendam di dasar laut mandalika yang luas dengan dekapan ombak yang senada.
Perjuangan masyarakat Lasem berlanjut saat perlawanan tahun 1750. Perlawanan ini terjadi akibat adanya maklumat - maklumat yang dikeluarkan oleh Bupati baru Lasem yaitu Surohadimenggolo III serta pemindahan Kabupaten dari Lasem ke Rembang. Perang Lasem periode ll (1750 - 1751) ini dipelopori oleh masyarakat pribumi Jawa yang tidak suka dengan maklumat yang dikeluarkan Adipati baru di Lasem yaitu Surohadimenggolo. Perlawanan di Lasem pada tahun 1750 ini melibatkan Oei Ing Kiat sebagai pemimpin pasukan etnis Tionghoa, Raden Panji Margono sebagai pemimpin pasukan pribumi Jawa dan tokoh islam Kyai. Ali Baidhowi sebagai pemimpin pasukan para santri. Perlawanan di Lasem pada tahun 1750 itu telah mengakibatkan dua tokoh pejuang di Lasem gugur ( Raden Panji Margono dan Oei Ing Kiat) dalam perlawanan tersebut.
Saya, Diyah Evita Sari, salah satu siswi dari SMA N 1 PAMOTAN dan sebagai salah satu warga masyarakat kota Lasem ingin mengangkat kembali cerita sejarah Lasem ini agar banyak anak muda khususnya (Rembang dan Lasem) yang mengetahui tentang asal usul kota pusaka Lasem ini dengan banyak keragaman budaya dan akulturasi budaya yang sangat beragam. Tujuan Penulis memilih tema tentang perjuangan di Lasem juga agar dapat memperkenalkan sekaligus memberi tahu kepada khalayak bahwasanya Lasem memiliki sejarah yang panjang dalam perjuangan meraih kemerdekaan dengan tokoh pahlawan yang melegenda di Lasem. Pluralisme antar masyarakat di Lasem menjadi ciri budaya sendiri bagi kota Lasem. Lasem juga menjadi tonggak persatuan dan kerukunan antar masyarakat Tionghoa, Pribumi Jawa dan Kaum Santri yang saling menghormati.
PEMBAHASAN
PERISTIWA GEGER PECINAN
Menurut Wijayakusuma (2005) dalam bukunya yang berjudul Pembantaian Massal, 1740: Tragedi Berdarah Angke, pada tanggal 9 Oktober 1740 terjadi peristiwa pembantaian besar besaran yang terjadi di Batavia. Pembantaian ini mengakibatkan kurang lebih 10.000 orang Tionghoa terbunuh. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Geger Pecinan atau Peristiwa Angke. Peristiwa ini diawali dari migrasi besar-besaran yang dilakukan masyarakat Tionghoa dari Cina daratan ke Batavia. Mereka bekerja di pabrik tebu dan perkebunan tebu yang didirikan masyarakat Tionghoa yang sudah datang sebelumnya. Pada akhir abad ke 17 krisis ekonomi dan politik menimpa koloni VOC (Lisminingsrih, 2012). Memasuki tahun 1738, keadaan kas VOC semakin memprihatinkan akibat dari jatuhnya harga rempah di pasar. Selain itu, muncul persaingan komoditas kopi dengan EIC, kongsi dagang Inggris yang berpusat di India (Wijayakusuma, 2005).
Saat situasi ekonomi di Batavia semakin buruk karena surutnya pamor bisnis gula sebagai komoditas ekspor, VOC mulai merazia etnis Tionghoa secara besar-besaran. Menurut Nurhadi (2008) pada Februari 1740, sekitar 100 orang Tionghoa di Tanjung Priok dan Bekasi ditahan oleh VOC. Hubungan VOC dan etnis Tionghoa semakin memburuk saat masyarakat Tionghoa mencoba untuk membebaskan masyarakat Tionghoa yang ditangkap.
Menurut Wijayakusuma (2005) pada 9 Oktober 1740 VOC mulai menangkap masyarakat Tionghoa, kepanikan terjadi saat muncul desas desus bahwa orang orang yang ditangkap akan diasingkan ke sebuah pulau namun ternyata di bunuh di tengah laut. Puncak pembantaian terjadi pada 10 Oktober 1740 saat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memerintahkan semua etnis Tionghoa yang tersisa untuk diseret dari rumah-rumah atau bahkan rumah sakit, untuk dibantai di lapangan depan Museum Fatahillah. Diperkirakan kurang lebih 10.000 masyarakat Tionghoa dibunuh dan mayatnya dibuang ke Kali Ciliwung. Mendengar pembantaian massal yang dilakukan VOC sebanyak 3000 pasukan Tionghoa menyerang benteng pertahanan Belanda di Tangerang pada 11 Oktober 1740. Pada saat bersamaan, sekitar 5000 pasukan Tionghoa menyerang pertahanan VOC di Jatinegara sehingga menyebabkan korban jiwa bertambah dua kali lipat.
Akibat terjadinya kemelut politik dan pembunuhan yang dilakukan VOC kepada pemberontak Tionghoa, sebagian masyarakat Tionghoa yang tersisa mengungsi dan melarikan diri ke Jawa Tengah. Orang-orang Tionghoa kebanyakan lari ke Lasem (tidak ke Mataram) dengan alasan karena pada saat itu adipati Lasem adalah seorang Tionghoa yaitu Oei Ing Kiat yang diangkat oleh Pakubuwana ll menjadi Adipati Lasem yang kemudian diberi nama Raden Tumenggung Widyaningrat. Menurut Purnawibawa (2021) beliau dilantik pada tahun 1720. Dalam hal ini, menurut Pasaribu dkk (2022) sebenarnya yang berhak menjadi Adipati adalah trah atau keturunan Tedjokusumo. Namun, Tedjokusumo Vl yaitu Raden Panji Margono menolak menjadi seorang Adipati Lasem dikarenakan Tedjokusumo sebelumnya yaitu ayahnya (Tedjokusumo V) melarikan diri dari Mataram dan melawan Belanda. Saat itu Mataram tidak bisa dipercaya, yang semula melawan Belanda di bulan November, namun di bulan selanjutnya sudah berbalik memerangi Pribumi. Banyak orang yang merasa kecewa atas keputusan Mataram termasuk Raden Panji Margono yang menganggap bahwa Belanda adalah penjajah.
Ketika orang-orang Tionghoa datang ke Lasem, mereka diterima dengan baik di Lasem oleh Adipati Lasem yaitu Oei Ing Kiat karena sama-sama seorang Tionghoa. Mereka juga diterima dengan baik oleh Raden Panji Margono, seorang pemimpin pribumi yang sangat dihormati di Lasem. Kemudian Mereka diberi tanah di sebelah selatan Bagan yang sekarang menjadi desa Babagan. Pada saat kedatangan pertama, masyarakat Tionghoa berada di Dasun kemudian menyebar sampai ke Karang Turi (yang sekarang dikenal dengan desa Karang Turi). Sekitar pada tahun 1740 para pengungsi dari Batavia ditampung dan diberi tanah di daerah Bagan bagian selatan. Masyarakat Tionghoa juga ikut andil dalam mempelopori perlawanan pertama di Lasem yang terjadi pada tahun 1740. Dalam perlawanan yang terjadi pada tahun 1750 yang dilakukan oleh Pribumi Lasem, para masyarakat Tionghoa juga ikut serta dalam membantu melawan Belanda.
PERANG KUNING DI LASEM
Menurut Septyana (2012) pada tahun 1741 para pengungsi Cina dari Batavia yang tinggal di Lasem mulai tumbuh tekadnya untuk memberontak melawan Belanda. Rasa kebencian dan amarah yang mereka pendam saat terjadinya pembantaian di Batavia yang menyebabkan sanak saudara mereka disana di siksa hingga dibunuh oleh orang orang Belanda di Batavia, menyebabkan dimulainya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa ini dengan memunculkan tiga tokoh (jagad kinantelon) yang menggerakkan terjadinya pemberontakan di Lasem. Menurut Purwanto (2016) tiga tokoh Lasem tersebut adalah Raden Panji Margono, Tan Kee Wie, dan Raden Ngabehi Widyaningrat.
Tokoh pertama, Raden Panji Margono adalah bangsawan Pribumi dan merupakan putra dari Tedjokusumo V. Beliau menyamar menjadi seorang Tionghoa menggunakan nama samaran Tan Pan Ciang, menggunakan baju hitam dan celana komprang ala pendekar Kauntauw (Kuntao). Tokoh kedua, Tan Ke Wie seorang pengusaha tegel dan bata dan seorang guru bela diri Kauntauw yang pemberani. Tokoh ketiga, Raden Ngabehi Widyaningrat Adipati Lasem saat itu dengan nama cina Oei Ing Kiat. Selain itu juga terdapat tokoh lain dalam Perang Kuning, yaitu Sunan Kuning dan Tan Sin Co (Singseh).
Menurut Septyana (2012) tujuan dari Raden Panji Margono menyamar menjadi seorang pasukan Tionghoa adalah agar mudah berbaur dengan pasukan Tionghoa dan untuk mengelabui para pasukan Belanda. Pada saat terjadinya perang kuning tersebut Oei Ing Kiat tidak berani untuk melawan Belanda secara langsung karena beliau dilantik oleh Pakubuwana ll yang pro atau mendukung Belanda yang menyebabkan beliau juga menyamar sebagai pasukan Tionghoa. Sama halnya dengan Oie Ing Kiat, Raden Panji margono juga tidak berani melawan langsung kepada Belanda karena beliau adalah bangsawan pribumi dan merupakan trah keturunan Tedjokusumo yang dikenal oleh Pakubuwana ll. Mendengar adanya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa membuat tiga tokoh tersebut bergabung untuk melawan Belanda dengan menyamar menjadi masyarakat Tionghoa dan ikut dalam perang kuning tahun 1741.
Langkah yang diambil Raden Panji Margono saat itu adalah mengumpulkan masyarakat Pribumi dari Lasem dan Pamotan untuk bergabung dengan para pasukan Tionghoa (Mandaka dan Mustika, 2021). Penyerangan dilakukan para pemberontak cina dengan menggunakan seragam serba hitam. Penyerangan dibagi atas dua bagian. Sebagian melakukan penyerangan lewat darat, dan sebagian lainnya melakukan penyerangan lewat laut dengan menggunakan jung-jung dan perahu.
Menurut Nurhadi (2008) penyerangan pertama dilakukan dengan menyerang Garnisun Belanda yang ada di Rembang. Penyerangan ini berhasil merebut Garnisun Belanda dan membuat banyak prajurit Belanda tewas terbunuh. Penyerangan kemudian dilanjutkan untuk menyerang Garnisun Belanda yang ada di Juwana. Perlawanan dilakukan tengah malam lewat, kurang lebih pukul dua dini hari. Penyerangan dilakukan dengan cara merunduk dari arah selatan agar pasukan Belanda yang kebingungan akan lompat ke arah sungai dan mudah untuk di bunuh. Serangan yang dilakukan pada tengah malam itu berhasil membuat banyak pasukan Belanda tewas dan tertangkap. Namun, ketika hari menjelang siang banyak pasukan bala bantuan Belanda yang datang dari Semarang yang langsung menyerang pasukan Cina dan Jawa dengan menggunakan senapan dan meriam yang bertubi tubi. Akibat serangan mendadak dari pasukan bantuan Belanda dari Semarang, banyak pejuang Cina dan Jawa yang tewas terbunuh.
Perjuangan di Lasem dibawah pimpinan Tan Kee Wie berhasil melumpuhkan pasukan Belanda di Rembang. Tan Kee Wie kemudian memisahkan diri dari pasukan Oei Ing Kiat dan Tan Pan Ciang. Beliau bermaksud ingin menyerang Benteng Belanda yang terletak di tepi Pantai Jepara. Namun, saat perahu yang digunakan Tan Kee Wie sampai di Perairan Mandalika, Tan Kee Wie dan para pasukannya mendapatkan serangan bertubi tubi dari pasukan Belanda dengan menggunakan meriam serta menggunakan formasi supit urang. Menurut Atabik (2016) Tan Kee Wie akhirnya gugur di Laut Mandalika bersama dengan pasukannya, untuk menghormati gugurnya Tan Kee Wie beserta para pasukannya, dibuatlah batu peringatan dengan tulisan Cina pada 5 November 1742. Batu peringatan tersebut diletakkan di Pematang Tambak Bathuk Mimi di dekat Muara Sungai Lasem, namun batu peringatan tersebut kini sudah tidak ada dan menghilang. Banyak yang sudah mencari hingga menggunakan alat berat namun tidak ditemukan.
Kembali ke cerita Perang Kuning, sisa pasukan Tan Kee Wie yang berhasil selamat akhirnya menyerang tempat pertahanan Belanda di Jepara, serangan mendadak ini berhasil membuat Belanda kewalahan. Kemenangan berada di tangan pemberontak, namun, kemenangan tersebut masih terasa kurang karena mereka belum bisa menundukkan Benteng Belanda di Jepara, ditambah duka mendalam yang masih menyelimuti akibat kehilangan Tan Kee Wie beserta pengikutnya. Para pejuang di Jepara ini memutuskan untuk kembali ke Lasem dengan membawa senjata yang di dapat dari para pasukan Belanda. Mereka memutuskan tidak melanjutkan perlawanan ke benteng Belanda karena jumlah pasukan yang tidak memadai.
Perlawanan lainya yang dilakukan pasukan Lasem di Jepara juga menghasilkan kemenangan. Menurut Nugroho (2020) sekitar 600 pasukan Tionghoa yang dipimpin oleh Tan Sin Kho, dan 1.200 pasukan Jawa yang dipimpin oleh Raden Mas Said berhasil memukul mundur pasukan VOC di Welahan, Jepara.
Pasukan pemberontak lainnya yang berada di Juwana dengan dipimpin oleh Ki Ageng Sokawangi, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono berhasil mengepung Juwana dari segala sisi. Kemenangan pun berada di tangan pemberontak. Namun, kemenangan itu hanya bertahan sebentar, tanpa diduga pasukan Cakraningrat lV dari Madura datang sebagai bala bantuan bagi Belanda. Mereka di bekali dengan senapan dan persenjataan yang lengkap oleh Belanda. Hal tersebut mengakibatkan para pasukan pemberontak kalang kabut sehingga banyak pasukan yang gugur di perlawanan tersebut. Para pemberontak harus menerima kekalahan akibat pengkhianatan dari bangsa sendiri. Mereka yang menerima kekalahan kemudian lari meninggalkan medan pertempuran.
Raden Panji Margono ikut berlari menyelamatkan diri akibat dari serangan mendadak dari pasukan bala bantuan Belanda. Raden Panji Margono meninggalkan medan pertempuran dengan cara menyamar. Beliau mengganti pakaian menjadi seorang petani sederhana yang dibeli di Desa Raci Pati serta membeli dandang tembaga bekas agar kelihatan sebagai tukang memperbaiki barang- barang dari tembaga atau pedagang barang-barang bekas. Dengan cara itu Raden Panji Margono dengan abdi setianya bisa terhindar dari mata-mata Belanda dan prajurit Cakraningrat IV. Sehingga Raden Panji Margono dapat sampai di Lasem dengan selamat. Sesampainya Raden Panji Margono di kediamannya, di Lasem, beliau menderita sakit parah selama berbulan-bulan. Penyebabnya adalah beliau kelelahan selama melakukan perlawanan demi membela tanah Lasem. Namun, sakit yang dideritanya ini membuat Belanda tidak mencurigainya terlibat di dalam pemberontakan yang dilakukan masyarakat Tionghoa.
Sedangkan ketika Oei Ing Kiat mengetahui banyak dari pasukannya tewas, Oei ing Kiat memutuskan untuk mundur dari medan pertempuran dengan menyamar menggunakan pakaian Jawa dan berpura-pura menjadi pedagang gamelan dari Kartasura yang menawarkan gamelan nya di Lasem dan ingin pulang ke Kartasura namun terhalang dan tertahan oleh pertempuran. Setelah sampai di Kartasura, Oei ing kiat menemui Pakubuwana ll untuk meminta perlindungan kepadanya dengan alasan keselamatannya di Lasem terancam oleh para pemberontak Cina.
Setelah keadaan aman, Oei Ing Kiat kembali ke Lasem. Beliau tetap menjadi Adipati karena Belanda tidak mengetahui bahwa peran Oei Ing Kiat sangat mempengaruhi dan sangat tinggi. Ketika kembali ke Lasem, Oei Ing Kiat bersikap seolah olah marah terhadap para pemberontak di depan keluarganya dan para penguasa Belanda. Namun setelah mereka pergi, Oei Ing Kiat bersikap lain kepada para pemberontak tersebut. Belanda masih tetap curiga dengan Oei Ing Kiat yang menyebabkan kekuasaan Oei Ing Kiat diturunkan dari seorang Tumenggung hanya menjadi seseorang Mayor yang hanya memimpin para Tionghoa di dalam kota. Tidak lama kemudian, gelar Tumenggung Widyaningrat yang diberikan oleh Pakubuwana ll juga di cabut.
Para pemberontak yang masih selamat memutuskan untuk menyingkir ke Gunung. Namun, berbeda dengan Tan Sin Kho bersama dengan 7 temannya. Mereka memilih menaiki perahu di Pantai Lasem untuk menyebrang ke Bawean. Namun, perahu yang mereka gunakan ternyata diketahui oleh Belanda. Di pantai Lasem itulah terjadi perlawanan jarak dekat antara Tan Sin kho dan Belanda. Teman-teman Tan Sin Kho berhasil menyelamatkan diri. Sedangkan Tan Sin Kho bernasib lain. Tan Sin Kho berhasil dibunuh oleh bapak slamat bekas budak Bali milik almarhum Jacob William Dubbeldekker dengan memenggal kepalanya yang kemudian menyerahnya kepada Nathaniel Steinmetz beserta dengan jimat singseh. Tan Sin Kho kemudian dimakamkan di persawahan Lasem.
Menurut Nurhajarini dan Purwaningsih (2015) sejak bulan November tahun 1743 pemerintah Belanda memberlakukan pemisahan antara Pribumi dan etnis Tionghoa. Pada tahun 1745, Jendral Belanda yang berkedudukan di Betawi, mengangkat Surohadimenggolo lll dari Semarang untuk menjadi Bupati pertama di Lasem. Surohadimenggolo lll memiliki sikap yang kejam, kasar dan sok suci. Selama menjadi adipati di Lasem, Surohadimenggolo lll merasa tidak nyaman karena selalu merasa diawasi oleh para pemberontak yang berada di Lasem .
Pada tahun 1747 ,Bupati Surohadimenggolo III mengeluarkan maklumat bagi para gogol dan seluruh bawahannya, yaitu rakyat Lasem. Pertama, barangsiapa ketahuan bersekutu dengan pemberontak akan ditangkap dan disiksa atau bahkan dihukum mati. Kedua, rakyat dilarang menyimpan buku-buku tentang Hindu Syiwa atau agama Buddha, serta Buku Sejarah Lasem atau catatan-catatan tentang para pemberontak. Bagi yang masih menyimpan buku-buku itu agar segera menyerahkan kepada pemerintah di Kabupaten, jika tidak akan mendapatkan hukuman cambuk dua puluh lima kali. Ketiga, arca-arca candi yang ada agar dimusnahkan, sisa candinya agar dibongkar. (Dikutip dari buku sejarah carita Lasem halaman 39)
Semua Pustaka suci baik kropak maupun buku dibakar di alun-alun kota Lasem dan dipertontonkan kepada seluruh masyarakat Lasem. Arca - arca yang banyak terdapat di Lasem di hancurkan dan kemudian dibuang ke laut. Hati masyarakat Lasem merasa panas dan marah melihat apa yang sudah dilakukan oleh Surohadimenggolo lll. Mereka kemudian mencari sekutu untuk dapat membunuh Surohadimenggolo lll. Merasa tidak aman tinggal di Lasem, akhirnya pemerintahan Kadipaten Lasem dipindahkan ke Magersari Rembang pada tahun 1750 oleh Belanda. Sehingga pada tahun itu Surohadimenggolo lll dan para punggawa kabupaten di tarik ke Rembang. Kebencian masyarakat Lasem dan sekitarnya kepada Belanda dan Surohadimenggolo lll kembali menyala dan berkobar.
PERANG LASEM 1750
Tepatnya pada bulan Agustus tahun 1750, para pelaku pemberontakan Lasem tahun 1740-an yang sudah berusia tua, mulai bergerak menyerbu posisi pasukan Belanda yang ada di Lasem dan sekitarnya. Keberanian mereka ini akhirnya menyulut semangat para pemuda untuk bangkit melawan Belanda. Raden Panji Margono yang mendengar perlawanan yang dilakukan para pejuang perlawanan tahun 1740, kembali menyalakan semangat juangnya yang berkobar. Pada suatu hari seluruh pejuang datang berduyun-duyun dan berkumpul di Alun-Alun Masjid Lasem. Mereka mengangkat sumpah setia kepada Raden Panji Margana untuk "Ikhlas hati sehidup semati menyumbangkan jiwa raga mengusir Belanda dari tanah Jawa".
Kejadian ini bertepatan hari Jumat, saat umat Muslim melaksanakan shalat Jumat yang dipimpin oleh Imam Kyai Ali Badhowi dari Purikawak. Kyai Ali Badhowi seorang ulama dan termasuk salah seorang wareng dari Pangeran Tejakusuma I. Kyai Ali Badawi menyampaikan seruan jihad kepada seluruh umat Islam untuk melawan Belanda dan kaki tangannya di Kabupaten Rembang, Jamaah seisi masjid serempak menyatakan kesanggupannya, dan dengan ikhlas sanggup berjuang bersama-sama dengan pejuang lainnya mengobarkan perang Sabil atau perang Lasem melawan penjajah.
Sakit hati yang dirasakan para masyarakat Cina kepada Belanda belum sembuh benar, ketika mendengar perlawanan dikobarkan oleh masyarakat Pribumi Jawa Lasem. Semangat juang mereka kembali berkobar. Mereka bergabung dengan pasukan Pribumi Lasem lainnya untuk melawan Belanda dengan dipimpin oleh Oei Ing Kiat yang telah bersumpah akan membalas dendam atas kematian Tan Kee Wie, yaitu teman seperjuangan yang gugur di Mandalika sebagai pahlawan. Para pasukan Belanda dan Surohadimenggolo lll yang mendapat laporan bahwa orang-orang Lasem akan melakukan perlawanan dan menghancurkan kota Rembang segera mengungsikan keluarga mereka. Pemerintah Belanda kemudian meminta bantuan kepada para Bupati yang sudah takluk dengan pemerintah Belanda. Belanda mendapatkan bantuan dari Bupati Tuban dibawah pimpinan Tumenggung Citrasoma.
Penyerangan di Rembang dari arah selatan dilakukan oleh Raden Panji Mloyokusumo. Sedangkan para pejuang dari Sedan dan Pamotan dipimpin oleh Naya Gimbal telah mendahului menyerang Belanda namun dikalahkan di padang belantara Tireman. Kekalahan ini terjadi karena pengkhianatan dari teman ki Noyo Gimbal yang berbalik arah memihak Belanda.
Para pejuang yang sebelumnya berkumpul di depan masjid Lasem kemudian berduyun-duyun bergerak ke medan pertempuran dengan semangat juang yang berkobar. Sebelah barat sungai Paturen terdapat para pejuang Cina, dan disebelah Timur para pejuang sabil (muslim) dipimpin oleh Kyai Ali Badhowi yang menggunakan ilmu pengabaran petak senggara macan, yaitu semacam doa dan mantra yang dapat melindungi mereka. Perang hebat terjadi antara prajurit Tumenggung Citrasoma dan para tentara sabil yaitu santri dari Lasem. Tentara sabil yang berada di belakang pasukan mengalami nasib malang karena terkena tembakan meriam dari arah laut sehingga membuat mereka gugur dan kehilangan nyawa.
Medan peperangan di sebelah barat kota Lasem tak kalah hebatnya, perjuangan yang dipimpin oleh Raden Panji Margono melawan pasukan Belanda di Karangpace. Di tanah Talbaya inilah merupakan akhir dari kisah perjuangan Raden Panji Margono demi membela Lasem tanah kelahirannya. Dengan semangat yang berkobar dan rela mengorbankan jiwa raganya demi membela tanah kelahirannya. Sabetan pedang yang mengenai lambung kirinya membuat luka yang cukup parah. Sebelum dia jatuh tak berdaya, Ki Mursada berhasil menangkap Raden Panji Margono yang kemudian di tangkap oleh Ki Galiya (abdi setia Raden Panji Margono).
Tubuh Raden Panji Margono berhasil diamankan oleh Ki Mursada dan Ki Galiya di tengah rimbunan semak - semak yang lebat di utara Desa sambong. Ki Mursada dan Ki Galiya berusaha mengobati dan menghentikan darah yang keluar dari tubuh Raden Panji Margono. Namun, luka yang parah membuat Raden Panji Margono kehilangan kesadarannya. Sebelum Raden Panji Margono kehilangan kesadaran, Beliau memberikan beberapa pesan kepada ki Mursada dan Ki Galiya.
Pertama, jika ia tewas, mayatnya supaya dikuburkan di bawah pohon Trenggulun di balik semak-semak di desa Sambong tersebut. Kuburannya agar diratakan dengan tanah dan tidak usah diberi nisan kubur, cukup ditutup dengan duri dan daun-daun semak belukar, juga agar dirahasiakan supaya tidak diketahui oleh musuh. Kelak bila Belanda dan kaki tangannya telah pergi dari Bumi Pertiwi, bunga Tunjung Teratai dan pohon Mandira rindang ditanam di setiap desa, kubur itu baru boleh dirawat. Kedua, putra bungsu dari Raden Panji Margana yang masih bayi yang diberi nama R.P. Witana beserta istrinya agar dibawa mengungsi ke Narukan, dengan cara menyamar sebagai petani, sebab tidak lama lagi tentu Dalem di kota Lasem akan dikuasai oleh Belanda. Ketiga, Pustaka-pustaka Suci dan Pustaka Badrasanti supaya diungsikan dengan dititipkan kepada Bekel Criwik, Ki Badra Guna putra sulung dari R.P. Suryakusuma. Keempat, tembang Sinom karyanya yang digubah ketika menderita sepulang dari pertempuran Juwana, supaya digunakan rerepen bagi orang-orang yang mencintai Tembang Jawa, tama para Ki Dalang dan Ni Pesindhen.
Setelah meninggal jenazah Raden Panji Margono di rawat oleh Ki Mursada dan keluarganya, perlawanan yang dipimpin oleh Oei ing kiat tak kalah menegangkan. Perlawanan yang terjadi di Layur antara pasukan Tionghoa dan para pasukan Belanda ini sangat menegangkan, puncak dari perlawanan ini adalah ketika Oei Ing Kiat mendengar kabar bahwa Raden Panji Margono telah gugur di medan pertempuran. Seketika Oei ing kiat naik darah, degan amarah yang besar serta rasa benci yang sudah tidak bisa terkendali. Oei Ing Kiat menarik pedang dan maju ke depan pasukan lawan dengan berteriak mengatakan "Aku Ingin menyusul saudaraku den Panji dan Tan Kee Wie.” Namun, karena kemarahan yang sudah memuncak dan nafsu membunuh para lawan yang sangat tinggi membuat Oei ing kiat kehilangan kewaspadaan terhadap musuh. Beliau tertembak oleh pasukan Belanda tepat di dada sebelah kiri. Dengan keadaan terluka parah, Oei Ing Kiat mundur dari medan pertempuran. Sebelum beliau wafat, dia berpesan agar jasadnya dimakamkan di Puncak Gunung Bugel menghadap ke arah barat. Mayat Oei Ing Kiat kemudian dirawat oleh ahli warisnya orang-orang Jawa yaitu saudara istri selirnya dari desa Warugunung. Sesuai dengan wasiatnya, beliau dimakamkan di puncak Gunung Bugel dengan ditandai dengan adanya lingga yoni (lumpang dan alu).
Setelah pemberontakan padam, Bupati Surohadimenggolo lll ditarik ke Semarang karena dianggap tidak mampu menjaga ketentraman masyarakat Lasem. Untuk menggantikan kepemimpinan Surohadimenggolo lll, Tumenggung Citrasoma diangkat menjadi bupati Lasem namun bertempat di Binangun.
Peperangan yang terjadi selama tiga bulan penuh untuk membela kehormatan tanah air tercinta dengan ribuan korban jiwa baik dari etnis Tionghoa maupun pribumi Lasem. Peperangan itu tidak hanya menyebabkan para prajurit yang gugur, namun banyak para tokoh pemimpin perjuangan juga gugur dalam perlawanan yang terjadi di tahun 1741 dan 1751. Sepeninggal para tokoh-tokoh perlawanan, keadaan Lasem kembali tentram. Walaupun demikian, kala itu, Pemerintah Belanda masih mengawasi seluruh pergerakan masyarakat Lasem dengan menyebarkan mata-mata ke seluruh desa di Lasem.
KESIMPULAN
Perlawanan yang terjadi di Lasem pada 1741 yang dipelopori oleh masyarakat Tionghoa adalah karena rasa kebencian dan amarah yang mendalam karena peristiwa pembantaian besar- besaran di Batavia. Sedangkan perlawanan yang terjadi pada tahun 1751 dipelopori oleh masyarakat Pribumi Jawa Lasem yang tidak menyukai dengan keputusan Bupati baru Surohadimenggolo lll dan pemindahan pemerintahan dari Lasem ke Rembang. Faktor yang melatarbelakangi kekalahan pasukan Lasem dalam melawan pasukan Belanda karena banyaknya persenjataan senapan dan meriam yang dimiliki pasukan Belanda, di tambah dengan para pasukan bayaran yang di sewa oleh Belanda dari beberapa Kabupaten lain. Namun bukan hanya kedua faktor tersebut saja, akan tetapi banyak dari sikap bangsa kita sendiri yang tidak suka dengan perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang yang membela tanah air kita ini. Mereka bahkan lebih memilih untuk mendukung Belanda dan memerangi saudara sebangsa mereka sendiri. Bulan Oktober tahun 1750 merupakan tahun yang sangat memprihatinkan bagi masyarakat Lasem karena banyak tokoh pejuang yang gugur dalam medan pertempuran. Runtuhnya kuncup bunga terate dan layunya pohon beringin mandira menjadi bukti bahwa tahun 1750 menjadi tahun yang sangat memprihatinkan bagi kota Lasem.
DAFTAR PUSTAKA
Atabik, A., 2016. Percampuran budaya Jawa dan Cina: Harmoni dan toleransi beragama masyarakat Lasem. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 11(1), pp.1-11.
Aziz, A. and Wildan, M., 2022. PERSEKUTUAN MUSIM JAWA-TIONGHOA MELAWAN BELANDA DALAM PERANG SABIL LASEM (1750 M). Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam, 7(1), pp.23-40.
Aziz, A. and Wildan, M., 2022. PERSEKUTUAN MUSIM JAWA-TIONGHOA MELAWAN BELANDA DALAM PERANG SABIL LASEM (1750 M). Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam, 7(1), pp.23-40.
Gama Prabowo. 2020. Perlawanan Etnis Tionghoa terhadap VOC. Dalam https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/19/200354169/perlawanan-etnis-tionghoa-terhadap-voc?page=all&lgn_method=google. Diakses pada tanggal 09 September 2023.
Hariyanto, A.M. and Hartanto, D.D., 2021. Program community engagement pengembangan motif Batik Lasem sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat Kawasan Batik Lasem. Jurnal DKV Adiwarna, 1(18), p.9.
Harry, H., Marta, R.F. and Briandana, R., 2021. Memetakan tautan budaya Lasem melalui dokumenter Net. biro Jawa Tengah dan MetroTVNews. ProTVF, 5(2), pp.227-246.
Kurniyawan, C.O., 2020. MUSEUM SEJARAH PERANG KUNING di LASEM. eDimensi Arsitektur Petra, 8(1), pp.761-768.
Lisminingsrih, Sri. 2012. Analisis kehidupan masyarakat Tionghoa suku Totok dan Tionghoa peranakan pada abad 17 di Batavia. Khasanah Ilmu-Jurnal Pariwisata Dan Budaya, 3(2).
Maghfiroh, Q. (2020). Bentuk Batik Tulis Lasem Motif Krecak di Perusahaan Batik Tulis Lasem Sekar Kencana. Jurnal Desain, 8(1), 61-75.
Mandaka, M. and Mustika, N.W.M., 2021. PEMETAAN BUDAYA: ARSITEKTUR CINA DI DESA BABAGAN-LASEM JAWA TENGAH. Jurnal Arsitektur Kolaborasi, 1(2), pp.18-27.
Nurhadi, O., 2008. Pembunuhan Massal Etnis Cina 1740 dalam Drama Remy Sylado: Kajian New Historisisme. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 14(75), pp.1197-1225.
Nugroho, Agung. 2020. Kisah Sunan Kuning Pimpin Pemberontakan VOC Terbesar di Nusantara. Dalam https://daerah.sindonews.com/read/3729/29/kisah-sunan-kuning-pimpin-pemberontakan-voc-terbesar-di-nusantara-1587197046/5. Diakses pada tanggal 09 September 2023.
Nurhajarini, D.R. and Purwaningsih, E., 2015. Akulturasi lintas zaman di lasem: perspektif sejarah dan budaya (kurun niaga-sekarang). Fibiona.
Pasaribu, Y.A., Malagina, A., Purwestri, N., Latief, F. and Kurniawan, H., 2022. PARTISIPASI MASYARAKAT KOTA LASEM LAMA DALAM PENETAPAN KAWASAN CAGAR BUDAYA PERINGKAT NASIONAL. AMERTA, 40(1), pp.57-72.
Purnawibawa, R.G. 2021. Tradisi Maritim Rembang. Dalam https://www.researchgate.net/publication/349426803_Tradisi_Maritim_Rembang_The_Prau_Maritime_Project
Septyana, N.H., 2012. SEJARAH PERKEMBANGAN KLENTENG GIE YONG BIO DI LASEM DAN PENGARUHNYA MASYARAKAT 1967–1998. Journal of Indonesian History, 1(2).
Sholihuddin, M., 2023. PENGUATAN MODERASI BERAGAMA TERHADAP SANTRI DI PONPES AL HIDAYAT LASEM PASCA PENETAPAN LASEM SEBAGAI KAMPUNG TOLERANSI. At-Tazakki: Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan Islam dan Humaniora, 7(1), pp.66-73.
Taufan, A.A. and Gofar, M.A., 2023. Kajian Manajemen Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya: Studi Kasus Kawasan Pusaka Lasem. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 12(1), pp.22-34.
Wijayakusuma, H., 2005. Pembantaian massal, 1740: tragedi berdarah Angke. Yayasan Obor Indonesia.
Atabik, A., 2016. Percampuran budaya Jawa dan Cina: Harmoni dan toleransi beragama masyarakat Lasem. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 11(1), pp.1-11.
Septyana, N.H., 2012. SEJARAH PERKEMBANGAN KLENTENG GIE YONG BIO DI LASEM DAN PENGARUHNYA MASYARAKAT 1967–1998. Journal of Indonesian History, 1(2).
Purwanto, L.M.F., 2016. SEJARAH BUDAYA LASEM SEBAGAI MODEL KOTA AKULTURATIF. In SMART: Seminar on Architecture Research and Technology (Vol. 1, pp. 233-238).
Aziz, Munawir, 2014. Lasem Kota Kecil, Interaksi Tioinghoa, Arab, dan Jawa dalam Silang Budaya Pesisir. Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI)
Panji, Kamzah. 2006. Cerita Sejarah Lasem (Terjemahan Bahasa Indonesia). Rembang: Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Rembang.
Lampiran Pendukung
*Makam Oei Ing Kiat
Terletak di Puncak gunung Bugel
*Makam Raden Panji Margono (terletak di Dorokandang)
*Makam Tan shin Ko
* Tugu / monumen perang kuning 1741
* Wawancara dengan Pak Edi Winarno dan bapak Matoya
Post a Comment